![]() |
Hukum Tidak Melekat Pada Benda? |
AlQuranPedia.Org - Belakangan ini ada syubhat yang
dilontarkan oleh seorang da’i. Dia menyebutkan bahwa hukum itu tidak melekat
pada benda. Perkataan itu diucapkan saat sang da’i membahas mengenai hukum
musik. Beliau menjelaskan bahwa musik itu benda, dan hukum tidak melekat pada
benda. Maksud sang da’i adalah kita tidak bisa menghukumi musik itu haram atau
halal sebelum melihat digunakan untuk apa musik itu. Kalau musik itu digunakan
untuk berdakwah, berisi lirik religi dan mengajak orang ke jalan Allah, maka
ini diperbolehkan/dihalalkan. Sebaliknya, kalau musik itu berisi hal-hal
negatif, tentang galau, maksiat dan membuat orang semakin jauh dari Allah, maka
ini diharamkan/tidak diperbolehkan. Sementara da’i lain yang satu pandangan
dengan da’i yang pertama, mengqiyaskan hal tersebut dengan pisau. Kalau pisau digunakan
untuk menyembelih dan memotong makanan maka jadi berpahala. Tetapi kalau pisau
digunakan untuk membunuh itu menjadi haram. Begitulah sang da’i berucap.
Apa jawaban kita menanggapi syubhat tersebut?
Pertama, musik
itu diharamkan berdasarkan nash Al-Quran dan hadits shahih.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, benar-benar akan ada di
kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan
alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung
dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu
keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian
Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka
serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”
(HR. Bukhari)
Kedua, para
‘ulama juga telah berijma’ (bersepakat) akan haramnya musik. Tidak ada satupun
ulama ahlussunnah dan diakui kefaqihannya yang berpandangan diperbolehkannya
musik. Namun kita tidak tahu rujukan dari da’i da’i tersebut siapa dan
akidahnya bagaimana. Namun kalau rujukan ulama sang da’i sudah menyelisihi
ijma’ ulama, maka persaksiannya pasti salah dan ditolak. Imam madzab yang 4
saja yakni Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, semuanya
mengharamkan musik dan membencinya sebenci-bencinya. Imam Syafi’i saja, yang
mana madzhabnya diikuti mayoritas umat Islam di Indonesia mengatakan dengan jelas keharaman musik.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Nyanyian
merupakan perkara melalaikan yang dibenci, menyerupai kebatilan.
Barangsiapa memperbanyaknya maka dia seorang yang bodoh. Pesaksiannya ditolak”
(Muntaqan Nafis min Talbis Iblis, 301)
Ketiga, perkataan/kaidah
“hukum tidak melekat pada benda” tidak ditemukan di dalam Al-Quran, hadits
maupun penjelasan para ‘ulama. Justru itu bertolak belakang dengan ayat-ayat
dan banyak hadits. Contohnya saja pengharaman babi, bangkai dan darah.
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah : 173)
Kita katakan, apakah babi, bangkai dan darah
diharamkan karena bendanya atau penggunaannya? Apakah babi halal jikalau
digunakan untuk berinfak? Apakah babi jadi halal jikalau digunakan untuk
memberi makan fakir miskin? Bukankah berinfak dan memberi makan fakir miskin
adalah perbuatan yang sangat baik? Tentu saja. Tapi apakah ketika amal baik
bercampur dengan yang haram akan diterima? Apakah hukum haram bisa menjadi
halal dikarenakan perbuatan? Tentu saja tidak. Mau bagaimanapun babi, sedikit
atau banyak, tetap saja haram, bagaimana pun bentuknya.
Keempat,
bagaimana dengan analogi da’i mengenai musik dengan pisau? Itu tentu saja
berbeda. Ingatlah kaidah fiqh para ‘ulama, “Segala sesuatu dalam urusan dunia adalah mubah sampai ada dalil yang
mengharamkannya”. Kalau pisau, kereta, handphone dan lain sebagainya. Itu
memang tidak ada dalilnya, sehingga hukumnya baru bisa ditentukan saat
digunakan untuk apa. Sementara musik, khamr, babi dan semisalnya sudah ada
keharamannya. Jadi itu adalah analogi/qiyas yang tidak tepat.
Nasehat kami kepada da’i-da’i tersebut
adalah agar mengedepankan dalil daripada hati, hawa nafsu dan kepentingan
apapun. Apabila telah jelas suatu hukum dari Al-Quran dan Hadits, maka wajib
bagi kita mentaatinya.
Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata. (Q.S. Al-Ahzaab : 36)
Kami sangat yakin da’i-da’i tersebut
mengetahui ayat Al-Quran dan hadits tentang keharaman musik. Terlebih lagi
beliau-beliau dikenal dengan keilmuan yang luas dan hafalan yang sangat kuat.
Maka dari itu kami menasehati para da’i agar berhati-hati dalam berfatwa,
karena situasinya adalah mereka ini sangat populer, ceramahnya disenangi banyak
orang dan banyak orang yang mengikutinya.
Dan kami sangat yakin mereka para da’i
mengetahui bahwa apapun yang kita ucapkan akan kita pertanggung jawabkan di
hadapan Allah. Hendaknya setiap orang berhati-hati dalam berbuat dan berucap.
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al-Israa’ : 36)
Akhirnya, kami memohon taufiq dan hidayah
kepada Allah agar senantiasa dilimpahkan kepada kita.
Semoga bermanfaat.
Diselesaikan pada 26 Jumadil Akhir 1439 Hijriyah/14 Maret
2018 Masehi.
EmoticonEmoticon