Tuesday, March 20, 2018

Hukum Tidak Melekat Pada Benda?


Hukum Tidak Melekat Pada Benda?
Hukum Tidak Melekat Pada Benda?

AlQuranPedia.Org - Belakangan ini ada syubhat yang dilontarkan oleh seorang da’i. Dia menyebutkan bahwa hukum itu tidak melekat pada benda. Perkataan itu diucapkan saat sang da’i membahas mengenai hukum musik. Beliau menjelaskan bahwa musik itu benda, dan hukum tidak melekat pada benda. Maksud sang da’i adalah kita tidak bisa menghukumi musik itu haram atau halal sebelum melihat digunakan untuk apa musik itu. Kalau musik itu digunakan untuk berdakwah, berisi lirik religi dan mengajak orang ke jalan Allah, maka ini diperbolehkan/dihalalkan. Sebaliknya, kalau musik itu berisi hal-hal negatif, tentang galau, maksiat dan membuat orang semakin jauh dari Allah, maka ini diharamkan/tidak diperbolehkan. Sementara da’i lain yang satu pandangan dengan da’i yang pertama, mengqiyaskan hal tersebut dengan pisau. Kalau pisau digunakan untuk menyembelih dan memotong makanan maka jadi berpahala. Tetapi kalau pisau digunakan untuk membunuh itu menjadi haram. Begitulah sang da’i berucap.


Apa jawaban kita menanggapi syubhat tersebut?

Pertama, musik itu diharamkan berdasarkan nash Al-Quran dan hadits shahih.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari)

Kedua, para ‘ulama juga telah berijma’ (bersepakat) akan haramnya musik. Tidak ada satupun ulama ahlussunnah dan diakui kefaqihannya yang berpandangan diperbolehkannya musik. Namun kita tidak tahu rujukan dari da’i da’i tersebut siapa dan akidahnya bagaimana. Namun kalau rujukan ulama sang da’i sudah menyelisihi ijma’ ulama, maka persaksiannya pasti salah dan ditolak. Imam madzab yang 4 saja yakni Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, semuanya mengharamkan musik dan membencinya sebenci-bencinya. Imam Syafi’i saja, yang mana madzhabnya diikuti mayoritas umat Islam di Indonesia  mengatakan dengan jelas keharaman musik.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Nyanyian merupakan perkara melalaikan yang dibenci, menyerupai kebatilan. Barangsiapa memperbanyaknya maka dia seorang yang bodoh. Pesaksiannya ditolak” (Muntaqan Nafis min Talbis Iblis, 301)


Ketiga, perkataan/kaidah “hukum tidak melekat pada benda” tidak ditemukan di dalam Al-Quran, hadits maupun penjelasan para ‘ulama. Justru itu bertolak belakang dengan ayat-ayat dan banyak hadits. Contohnya saja pengharaman babi, bangkai dan darah.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah : 173)

Kita katakan, apakah babi, bangkai dan darah diharamkan karena bendanya atau penggunaannya? Apakah babi halal jikalau digunakan untuk berinfak? Apakah babi jadi halal jikalau digunakan untuk memberi makan fakir miskin? Bukankah berinfak dan memberi makan fakir miskin adalah perbuatan yang sangat baik? Tentu saja. Tapi apakah ketika amal baik bercampur dengan yang haram akan diterima? Apakah hukum haram bisa menjadi halal dikarenakan perbuatan? Tentu saja tidak. Mau bagaimanapun babi, sedikit atau banyak, tetap saja haram, bagaimana pun bentuknya.

Keempat, bagaimana dengan analogi da’i mengenai musik dengan pisau? Itu tentu saja berbeda. Ingatlah kaidah fiqh para ‘ulama, “Segala sesuatu dalam urusan dunia adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya”. Kalau pisau, kereta, handphone dan lain sebagainya. Itu memang tidak ada dalilnya, sehingga hukumnya baru bisa ditentukan saat digunakan untuk apa. Sementara musik, khamr, babi dan semisalnya sudah ada keharamannya. Jadi itu adalah analogi/qiyas yang tidak tepat.

Nasehat kami kepada da’i-da’i tersebut adalah agar mengedepankan dalil daripada hati, hawa nafsu dan kepentingan apapun. Apabila telah jelas suatu hukum dari Al-Quran dan Hadits, maka wajib bagi kita mentaatinya.

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. Al-Ahzaab : 36)

Kami sangat yakin da’i-da’i tersebut mengetahui ayat Al-Quran dan hadits tentang keharaman musik. Terlebih lagi beliau-beliau dikenal dengan keilmuan yang luas dan hafalan yang sangat kuat. Maka dari itu kami menasehati para da’i agar berhati-hati dalam berfatwa, karena situasinya adalah mereka ini sangat populer, ceramahnya disenangi banyak orang dan banyak orang yang mengikutinya.

Dan kami sangat yakin mereka para da’i mengetahui bahwa apapun yang kita ucapkan akan kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah. Hendaknya setiap orang berhati-hati dalam berbuat dan berucap.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al-Israa’ : 36)

Akhirnya, kami memohon taufiq dan hidayah kepada Allah agar senantiasa dilimpahkan kepada kita.


Semoga bermanfaat.

Diselesaikan pada 26 Jumadil Akhir 1439 Hijriyah/14 Maret 2018 Masehi.


EmoticonEmoticon